1.
Anak
Dengan Ketunalarasan
a.
Definisi
Tunalaras
Kauffman (Sunardi, 1995:9) mendefinisikan anak tuna laras sebagai
anak yang secara kronis dan mencolok berinteraksi dengan lingkungannya dengan
cara yang secara sosial tidak dapat diterima atau secara pribadi tidak
menyenangkan, tapi masih bisa diajar untuk bersikap yang secar sosial dapat
diterima dan secara pribadi menyenangkan.
Istilah tunalaras diartikan sebagai gangguan atau hambatan atau
kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaiakan diri dengan baik
terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (PP RI No. 2/91 Sistem
pendidikan Luar Biasa). Lebih lanjut, gangguan perilaku merupakan deviation
from age appropriate behavior which significantly interfers with (1) the
child’s own growth and development and/or (2) the lives of other. (Kirk,
1972: 389).
Anak dengan gangguan tingkah laku ini
selalu memiliki masalah/konflik dengan saudara, orangtua, teman sekelas, guru
dan masyarakat dan mengganggu kehidupan orang lain. Orang tua menyebut mereka
“anak bandel (bad boy)”, guru menyebut mereka sebagai anak dengan
“masalah perilaku (conduct problem)”, pekerja sosial menyebut mereka “ketidaksesuaian
sosial (socially maladjusted)”, psikiater dan psikolog menyebut mereka
“gangguan emosi (emotionally disturbed)”. Dan apabila mereka
bersinggungan dengan hukum, menyebutnya “pelanggaran/kenakalan (delinquent)”.
(Kirk, 1972: 389)
Menurut Algozzine, Schmidt, dan Merceri dalam (Airin, 2010: 11)
adalah:
Anak yang secara kondisi dan terus menerus
menunjukkan penyimpangan tingkah laku berat yang mempengaruhi proses belajar,
meskipun telah menerima layanan belajar dan bilbingan seperti halnya anak lain.
Ketidakmampuannya dalam menjalin hubungan baik dengan orang lain dan gangguan
belajarnya tidak disebabkan oleh kelainan fisik, saraf atau integensi.
Dari banyak pendapat menurut para ahli, maka dapat disimpulkan
bahwa anak tuna laras adalah anak yang mengalami hambatan emosi, sosial dan
tingkah laku sehingga dalam berprilaku cenderung menyimpang atau kurang dapat
menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya. Hal ini akan berdampak buruk bagi kondisi belajar dan sosial karena
berkaitan pula dengan keterampilan sosial di lingkungan sekolah.
Klasifikasi
Ketunalarasan
Berdasarkan
penelitian Quay dan Peterson, Hallahan dan Kauffman dalam (Airin, 2010: 12)
membagi anak tunalaras sebagai berikut:
1.
Sosialized Aggresion
Memiliki kelompok kriminal negatif yang solid
2.
Attention problem Maturity/Inadequacy
Tidak dapat berkonsentrasi, mudah menjawab tanpa
berpikir
3.
Anxiety Withdrawn
Kesadaran diri, pemalu, hipersensitif, mudah
sakit hati, sering sedih, cemas, depresi
4.
Psychotic Behavior
Sulit untuk fokus, cara berbicara yang tidak
tertatur, memperlihatkan tingkah laku yang ganjil
5.
Conduct Disorder/Unsosialized Aggression
Tidak dapat mengendalikan diri, mencari
perhatian, selalu ingin diperhatikan, mengganggu orang lain, senang berkelahi,
tidak kooperatif, tidak patuh
6.
Motor Excess
Gelisah, tidak dapat diam, Talkactive
William M. Cruickshank (1975:567 dalam Pierquinn: 2012) mengemukakan
bahwa mereka yang mengalami hambatan sosial dapat diklasifikasikan kedalam
kategori berikut:
a. The semi-socialize child
Anak
yang termasuk kelompok ini adalah yang dapat mengadakan hubungan sosial tetapi
terbatas dalam lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan
ini terjadi pada anak yang datang dari lingkungan yang menganut norma-norma
tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat. Di lingkungan sekolah, karena perilaku mereka sudah diarahkan
oleh kelompoknya, maka seringkali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak
mau terikat oleh peraturan diluar kelompoknya. Dengan demikian anak selalu
merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan diluar kelompoknya.
b. Children arrested at a primitive level or socialization
Anak
dalam kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau
tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbigan
kearah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa
saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari
orang tua, yang berakibat pada perilaku anak ini dikuasai oleh dorongan nafsu
saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan
yang ramah.
c. Children with minimum socialization capacity
Anak
kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap
sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal
hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini bersikap apatis dan
egois.
Berdasarkan pendapat
para ahli di atas mengenai klasifikasi anak tunalaras, dapat penulis simpulkan
bahwa anak tunalaras memiliki karakteristik tidak dapat mengendalikan diri,
memiliki penyimpangan perilaku dalam berinteraksi dengan lingkungan, sulit
patuh pada aturan dan semua hal tersebut membuat anak tunalaras dijauhi oleh
lingkungannya karena dianggap mengganggu dan tidak memberikan rasa aman ketika
bergaul.
KarakterstikAnak tuna laras Tuna laras
Pada sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Morse, Cutler dan Fink (Kirik, 1972: 393 dalam
Airin, 2010: 14) karakteristik dari 441 anak dengan gangguan emosi adalah
sebagai berikut:
1.
Berentang usia antara 5-15 tahun, dengan umur
rerata bagi anak laki-laki 9,4 dan perempuan 9,8 tahun.
2.
Terdiri dari 83,2% anak laki-laki dan 16,8% anak
perempuan
3.
Para guru menilai mayoritas anak-anak ini
terbelakang secara akademis dibandingkan dengan harapan akademis pada usia
kronologis mereka
4.
Rentang IQ mereka antara 68-132. Mayoritas dari
mereka memliki IQ di atas 100
5.
Lebih dari setengah sampel dikelompokkan pada
neurotis, dengan perilaku yang paling mencolok sebagai masalah perilaku yang
dominan. Sementara kelompok lainnya masuk ke dalam kelompok ”immature/tidak
matang”.
Sementara pada penelitian oleh California
State Department of Education (Kirk, 1972:393 dalam Airin 2010: 14) ditemukan karakteristik dari anak-anak dengan
gangguan emosi ini meliputi:
1.
Memiliki prestasi sekolah yang benar-benar berada
di bawah rata-rata
2.
Lebih sering dipanggil ke ruang wakil kepala
sekolah untuk tindakan pendisplinan
3.
Lebih sering keluar dan meninggalkan sekolah
4.
Lebih sering bolos sekolah
5.
Lebih sering masuk UKS karena sakit, butuh
istirahat atau merasa tidak nyaman
6.
Lebih sering berhubungan dengan guru BK
7.
Lebih sering menjadi subjek pekerja sosial khusus
kesejahteraan anak
8.
Sebagai subjek yang lebih sering berhubungan dengan
polisi
9.
Memungkinkan untuk dijadikan sebagai subjek
eksperimen
10. Lebih sering
ditemukan melakukan kekerasan
11. Lebih sering dirujuk
ke klinik bimbingan lokal
Berdasarkan pemaparan mengenai karakteristik ketunalarasan di atas penulis
dapat mengambil kesimpulan bahwa bila dilihat dari kemampuan akademik, anak
tunalaras seringkali dianggap sebagai anak yang tidak mampu memahami
pembelajaran dengan baik meskipun jika dilihat dari rentang intelegensi yang
dimilikinya sebagian besar anak tunalaras memiliki intelegensi di atas
rata-rata, namun karena perilaku menyimpang yang ditunjukkan oleh anak
tunalaras tersebut menjadikannya dianggap sebagai anak yang terhambat dalam
akademis.
b. Faktor Penyebab Ketunalarasan
Ada beberapa
hal yang menjadi penyebab tuna laras. Secara umum faktor penyebab tersebut
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu (1) faktor internal yaitu faktor yang
langsung berkaitan dengan kondisi individu tersebut seperti keturunan, kondisi
fisik dan psikisnya, (2) faktor external yaitu faktor-faktor yang berasal dari
luar individu, terutama lingkungan, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat
(Patton, 1991 dalam Qinai: 2010)
1. Faktor
Internal
a. Berkercerdasan rendah atau kurang dapat mengikuti tuntutan sekolah.
b. Adanya ganguan atau kerusakan pada otak (brain damage)
c. Memiliki ganguan kejiwaan bawaan.
d. Frustasi yang terus menerus
2. Faktor Eksternal
2. Faktor Eksternal
a. Kemampuan sosial dan ekonomi rendah
b. Adanya konflik budaya yaitu adanya perbedaan pandangan
hidup
antara keadaan sekolah dan kebiasaan keluarga.
c. Adanya pengaruh negatif dari genk-genk atau kelompok.
d. Kurangnya kasih sayang orang tua karena kehadirannya tidak
diharapkan.
e. Kondisi keluarga yang tidak harmonis (broken home).
Selain itu ada pendapat lain yang menyatakan bahwa meningkatnya
penyimpangan sosial disuatu wilayah disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
kurangnya displin diri, lemahnya moral seseorang, mulai melupakan Tuhan,
kemajuan masyarakat yang menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru serta kurangnya
rasa tanggunga jawab dari pemimpin yang ada. Namun hal tersebut disangkal
karena seandainya demikian, mengapa tidak semua orang yang hidup dilingkungan
seperti itu menjadi tuna laras, menjadi jahat. Tentu ada hal lain yang
menyebabkan seseorang menjadi tuna laras, selain hal-hal tersebut.
Profesor Cyril Burt (Qinai: 2010) menekankan bahwa sebab-sebab tunalaras
itu kompleks (multiple causation). Setelah kemajuan dibidang ilmu jiwa,
ternyata banyak sebab-sebab yang ditemukan pada tuna laras, merujuk pada
kondisi mentalnya. Yaitu mereka yang termasuk pribadi yang tidak memiliki
penyesuaian diri yang baik atau sehat dengan lingkungan sosialnya, lebih
berpotensi mengalami tuna laras.
A. Masalah Keterampilan Sosial pada Anak
Tunalaras
1. Keterampilan Sosial Anak Tunalaras
Menurut Sunardi (Alfiah, 33-35: 2012) manusia pada dasarnya
belajar untuk mengembangkan kemampuan sosialnya sebagian besar dari
interaksi dengan sesamanya. Dalam
interaksi tersebut individu akan belajar memahami berbagai perilaku yang baik atau yang buruk, yang sesuai
dengan aturan atau yang tidak sesuai dengan aturan, yang diperbolehkan dan yang
dilarang.
Dari pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa
individu belajar dari lingkungannya,
dari pengalaman-pengalaman yang
didapat dari lingkungan tersebut hasil yang harus dicapai adalah individu yang
memiliki kesadaran sosial dimana individu itu dalam bertingkah laku dapat
mempertimbangkan terlebih dahulu aspek-aspek yang ada dilur dirinya. Sehingga
individu dalam memenuhi kebutuhannya dapat dilalui dengan perasaan aman dan
tanpa merugikan orang lain atau lingkungannya.
Keterampilan sosial bukanlah kemampuan yang
dibawa individu sejak lahir tetapi diperoleh
melalui proses belajar,
baik belajar dari
orang tua sebagai figur
yang paling dekat
dengan anak maupun
belajar dari teman sebaya dan lingkungan masyarakat.
Melalui pengamatan dilapangan bahwa anak tunalaras cenderung memiliki
keterampilan sosial yang rendah. Berdasarkan penelitian Quay dan Peterson dalam
Hallahan dan Kaufman (Alfiah, 33-35: 2012) karakteristik perilaku
menyimpang yang dilakukan siswa tunalaras dalam kehidupan
sehari-hari dibagi menjadi enam dimensi. Pertama, ketidakmampuan mengendalikan
diri (conduct disorder atau unisosialized aggression) yaitu mencari perhatian,
selalu ingin diperhatikan, mengganggu orang lain, berkelahi, tidak kooperatif,
dan tidak patuh. Kedua, agresif sosial atau perilaku yang dilakukan secara
kelompok (socialized aggression) yaitu mencuri
secara berkelompok, setia
dengan teman yang nakal, bolos dari sekolah dengan teman,
mempunyai kelompok yang “jelek” dengan bebas mengakui tidak patuh pada nilai
moral dan peraturan. Ketiga, masalah perhatian perilaku yang menunjukan
kekurang dewasaan (attention problem-immaturity atau inadequacy) yaitu tidak
dapat berkonsentrasi (konsentrasinya
mudah teralihkan) dan menjawab tanpa berpikir. Keempat, perilaku yang
berkaitan dengan kepribadian (Anixiety withdrawal) yaitu kesadaran diri,
pemalu, hipersensitif, perasaannya mudah sakit, sering merasa sedih, depresi,
dan selalu sedih. Kelima, psychotic behavior yaitu susah fokus pada sesuatu,
cara bicara tidak teratur, dan memperlihatkan tingkah laku yang ganjil. Keenam,
motor excess yaitu gelisah, tidak bisa duduk diam tidak bisa tenang, dan
terlalu banyak berbicara
2. Perkembangan Sosial Anak Tunalaras
Sebagaimana kita pahami bahwa anak tunalaras
mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau
lingkungannya. Hal ini tidak bearti bahwa mereka sama sekali tidak memiliki
kemampuan untuk membentuk hubungan sosial dengan semua orang. Dalam banyak
kejadian, mereka ternyata dapat
menjalin hubungan sosial
yang sangat erat
dengan teman-temannya.
Mereka mampu membentuk
keterikatan antara yang satu dengan lainnya.
Ketidakmampuan anak tunalaras dalam interaksi
sosial yang baik dengan lingkungannya
disebabkan oleh
pengalaman-pengalaman yang tidak/kurang
menyenangkan.
Dengan demikian, setiap mencapai tahapan
perkembangan baru, anak menghadapi krisis emosi. Apabila egonya mampu
menghadapi krisis ini maka perkembangan egonya akan mengalami kematangan dan
anak akan mampu menyesuaikan diri secara baik dengan lingkungan sosial dan
masyarakatnya. Emosi atau perasaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
perkembangan hubungan antar individu. Mengutip tulisan Alifiah dalam skripsinya
yang berjudul ” Pengaruh Pembelajaran Investigasi Kelompok
terhadap Pengembangan Keterampilan
Sosial Siswa Tunalaras” (40: 2012) bahwa gangguan emosi akan diperlihatkan
dalam hubungannya dengan
orang lain dalam
bentuk seperti kecemasan, agresif dan impulsif. Anak yang
mengalami gangguan emosi menunjukan kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan.
Dapat pula anak menjadi suka menyerang,
memberontak, dan susah
diatur. Tindakannya kadang-kadang begitu spontan dan sulit
diramalkan.
Keadaan ini dapat terjadi dalam berbagai
lingkungan, baik di sekolah maupun dirumah.
Di sekolah mereka menjadi malas untuk belajar, kurang perhatian
terhadap pelajaran, dan mengalami kegagalan dalam belajar. Di lingkungan rumah,
mereka merasa tidak kerasan dan
senang keluyuran. Jarak
yang memisahkan hubungan
anak dengan lingkungannya mula-mula
bersifat obyektif, akan tetapi
kemudian menjadi lebih bersifat
subyektif. Hal ini tergantung kepada bagaimana sikap anak, bagaimana
penghayatan anak akan dirinya (self-consept ), dan penghayatan anak terhadap
lingkungan sosialnya.
Anak
tunalaras memiliki penghayatan
yang keliru, baik
terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya. Mereka
menganggap dirinya tidak berguna bagi orang lain dan merasa tidak
berperasaan. Oleh karena itu
timbullah kesulitan apabila
akan menjalin hubungan
dengan mereka, ingin mencoba
mendekati dan menyayangi
mereka, dan apabila berhasil sekalipun mereka akan
menjadi sangat tergantung kepada seseorang yang pada akhirnya dapat menjalin
hubungan sosial dengannya.
Diantara bentuk-bentuk kelainan tingkah laku,
anak yang cemas dan menarik diri memiliki ancaman yang lebih besar terhadap
dirinya daripada lingkungan
sosialnya. Karena mereka yang
menunjukan tingkah laku yang mengganggu
dan tidak terlalu menimbulkan masalah bagi orang lain sehingga biasanya kurang
menarik perhatian. Masalah
yang dihadapi anak
yang menarik diri adalah pengendalian dan kelenturan ego. Mereka terlalu
mengekang dorongan hati,keinginn, dan nafsu dalam berbagai situasi. Hal ini
menyebabkan mereka tidak sanggup berlaku spontan. Dalam dirinya tampak suatu
keadaan tidak berdaya yang dipelajari ( learned helplessness ) yang man
dalam hal ini
dapat menimbulakn masalah
serius bila ia
mengalami kekecewaan, ia merasa bahwa kekecewaan adalah bagian dari
dirinya. Anak dengan masalah ini mempunyai konsep yang demikian rendah sehingga
kegagalan dalam tugas sekolah atau kehidupan sosialnya hanya menunjukan
ketidakberdayaan dihadapan
lingkungannya. Penampilan yang buruk dalam suatu situasi mungkin akan
dilakukannya lebih buruk lagi hanya
karena ia merasa pesimis dengan diri dan kemampuannya. Perasaan dan sikap
rendah diri nampak menonjol dalam penampilan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar